Asep Chaeruloh, Indonesia Kelimpahan Kode Etik


Asep Chaeruloh, Pelukis, Trainer, Pakar Integritas dan Owner Taman Indonesia Bahagia Garut (Foto : Arus)
GARUT – Berbicara tentang nilai-nilai, maka sebenarnya bangsa ini punya nilai- nilai yang menyatukan seluruh profesi apapun, daerah manapun, organisasi apapun. Nilai-nilai itu menyatukan kita semua yaitu PANCASILA. Itulah nilai-nilai yang diseragamkan sebagai warga negara Indonesia.
Inti dari nilai nilai itu harus sampai terinternalisasi (dari dalam dan menjadi keyakinan) bukan sekedar identifikasi (dari luar kedalam), apalagi kesediaan (sosialisasi dan tanda tangan). Internalisasi artinya sampai pada permanensi sikap dan perilaku. Untuk terinternalisasi dengan baik membutuhkan proses (waktu dan energi) dan syarat khusus yaitu rileks dan fokus. Disebut rileks fokus apabila ada antara 1 sampai 5 , yaitu pada gelombang otak tetha dan alpha.
Demikian dikatakan oleh Asep Chaerulloh, Pelukis, Trainer dan Pakar Integritas kepada redaksi Sinarpaginews.com di Taman Indonesia Bahagia, Wanaraja, Garut, Minggu (07/04/2019).
“Apakah nilai-nilai itu cukup hanya sebatas dikatakan “aku pancasilais”?. Apakah nilai nilai itu sudah hadir permanen dalam sikap dan perilaku seluruh bangsa Indonesia?. Nilai itu adalah alat untuk memastikan SDM selaras tujuan, jadi cek saja, apakah tujuan sudah semakin dekat atau semakin jauh, dan pastikan tujuannya terkait kebahagiaan, dalam konteks Indonesia adalah masyarakat adil makmur,” ujar Owner Taman Indonesia Bahagia Garut yang berlokasi di Jalan Wanaraja Kampung Samanggen Kabupaten Garut, Hp. 082320178207 – 087823674390 (Reservasi).
Lebih lanjut Asep menjelaskan, begitu banyak nilai-nilai yang dibuat dan diseragamkan sehingga terjebak dalam sekedar sosialisasi, dan mengalami kesulitan untuk internalisasinya, bahkan akhirnya lebih sibuk untuk saling berbeda tafsirnya dan terbagi dalam kelompok-kelompok dengan masing-masing merasa yang paling pancasilais, walaupun dalam sikap dan perilakunya seringkali bukan mencerminkan nilai nilai tersebut.
Dulu fenomena ini tidak begitu terasa, karena kehidupan masih belum ter-connect antara karir dan pribadi, belum serba lintas sektor, kehidupan belum se VUCA – Volatility (rumit), Uncertainty (tidak pasti). Complexity (kompleks) dan Ambiquity (ambigu) seperti sekarang. Dulu relatif “rational planning” semuanya serba terprediksi dan berlaku spesialisasi serta generalisasi, sekarang kehidupan serba “tersambungkan” sehingga muncul yang serba “multi”. Saat serba multi inilah terasa sekali setiap orang Indonesia mengalami “kelimpahan kode etik” dan kita belum punya kamus yang terukur dari setiap nilainya.
Alhamdulillah kami sudah mempunyai metode untuk dapat mengkatagorikan dan memberikan bobot dari setiap nilai sehingga bisa lebih rileks dan fokus untuk proses internalisasinya, lebih terukur alokasi sumber daya untuk proses internalisasinya.
Namun yang di atas akan efektif, jika sebelumnya diselesaikan dulu secara bangsa terkait tumpang tindih dan “kelimpahan nilai nilai”, kita perlu “combined assurance” untuk nilai nilai yang diseragamkan, karena bukan hanya pancasila saja yang jadi nilai diseragamkan, ada nilai lainnya yang diseragamkan, terutama untuk yang serba lintas, misalkan ASN, sebagai diskusi “apakah masih butuh kode etik ASN”?, sedangkan ASN itu tersebar di berbagai kementrian, pemerintah daerah dan lembaga (KLOP) tertentu? Sedangkan KLOP mempunyai tugas, sumber daya dan tujuan masing masing dalam berkontribusi untuk TUJUAN NASIONAL (TUNAS).
Bagaimana kalau pedoman perilaku ASN saja?, nilai-nilainya adalah pancasila. Pedoman perilakunyapun yang generik, tidak dibuat detail dan sfesifik, untuk nantinya bisa di jabarkan dalam indikator perilaku yang dijadikan acuan saat KLOP membuat pedoman perilaku yang detail sampai indikator perilakunya yang bisa spesifik untuk mewujudkan tujuannya.
Seorang ASN, dia harus internalisasikan nilai masyarakat adatnya, nilai organisasi atau instansi tempat berkarir, nilai keprofesiaannya, nilai ASN, nilai pancasila, seberapa banyak ragam istilah kode etik yang harus ia internalisasi, fokuskah?, bisakah nilai nilai tersebut menjadi suatu energi yang menggerakkan semua sumber daya menuju tujuan secara permanen? “. Jadi jangan salahkan nilai nilainya jika masih ada yang sikap dan perilaku menyimpang atau belum maksimal dalam mewujudkan tujuan.
Begitu banyak program intervensi yang harus diterima ketika kode etiknya berkelimpahan. Idealnya yang strategis itu (core integrity) fokus pada regulasi dan kebijakan tidak sampai membuat yang operasional serta penyeragaman terhadap sesuatu yang tidak seragam. Semua diatas sekedar penasaran dan bahan untuk diskusi, merupakan kepedulian dan kerinduan SDM indonesia berdaya saing dengan energi internal luar biasa, terutama untuk posisi kunci.
Internalisasi akan mudah ketika, semua yang lintas nilainya adalah Pancasila. ASN, PROFESI, dll, sikap dan perilakunya atau pedoman perilakunya ikuti tempat dimana yang bersangkutan sedang berkiprah, disitulah mengapa setiap entitas organisasi mempunyai program “induction training” untuk menjamin tercapainya tujuan organisasi yang merupakan penjabaran tujuan nasional. Jadi secara nasional bukan diikat oleh proyek dan program (atau bisa jadi kepentingan) tetapi diikat oleh nilai nilai.
Bisa saja diseragamkan sampai pedoman perilaku seperti dulu P4, namun akan berdampak pada entitas organisasi dengan SDM yang general soft competencynya, dan tidak maksimal untuk fungsinya, yaitu memastikan sdmnya selaras untuk pencapaian tujuan.
Apalagi kesadaran untuk menghasilkan kinerja organisasi dan unit kerja yang tidak hanya standar atau mempunyai daya saing, menyebabkan ada yang membutuhkan prioritas nilai, sikap dan perilaku yang berbeda. Dalam suatu organisasi yang punya tupoksi pencegahan dan penindakan tentunya membutuhkan prioritas nilai dan perilaku yang berbeda.
Pemikiran diatas adalah untuk solusi supaya tidak akan terjadi lagi tumpang tindih nilai, dan kode etik dan pedoman perilaku. maka nilai akan maksimal memastikan pencapaian tujuan organisasi yang pada dasarnya beragam namun terikat dalam tujuan nasional, apalagi dengan adanya otonomi daerah. Core integrity atau pemilik regulasi dan kebijakan fokus pada combined assurance dan kualitas dari yang beragam tersebut.
“Wacana ini diangkat, diharapkan siapapun yang menang pilpres dan pileg bisa menampung dan mempertimbangkan hal diatas sebagai suatu solusi untuk tersedianya SDM indonesia yang layak mewujudkan TUJUAN NASIONAL (TUNAS) diberbagai lini dengan kekuatan nilai nilai yang terinternalisasi, yang seakan jadi sumber energi dari dalam yang tak akan habis-habis untuk daya saing Indonesia,” harapan Asep Chaerulloh. (Arus)